BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan jalan hubungan yang diridho oleh Allah untuk menjalin hubungan antara laki-laki dan perempuan dan merupakan salah satu dari sunnah rasulullah saw.
Masalah perkawinan banyak dibahas di dalam al-Quran dan hadits Nabi saw. Tetapi pembahasan perkawinan didalam al-Quran masih banyak yang bersifat umum, maka diperlukan penafsiran untuk mengetahui maksud sebenarnya dari ayat tersebut.
Oleh sebab itu, pada makalah ini penulis akan mencoba menjelaskan penafsiran Al-Quran mengenai perkawinan.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan penafsiran mengenai perkawinan dan untuk melengkapi salah satu dari tugas mata kuliah Tafsir.
BAB II
PERKAWINAN
Perkawinan dari buku Prof Dr Hamka sebagaimana dikutip oleh kelompok enam.pada zaman jahiliyah yaitu seorang budak perempuan dipaksa oleh tuannya melakukan perzinaan menjadi perempuan pelacur memunggut bayaran dari pada orang yang memakainya dan bayaran itu diserahkan (setor)kepada tuanya ,padahal perempuan itusendiri dapa asal jiwanya ialah mengingikan hidup yang suci dan sopan Cuma dipaksa mengerjakan itu karena dia tidak merdeka (budak).[1]
Adat mempersewakin budak perempuan buat dilacurkan “biasa aja”dizaman jahiliyah sehingga orang –orang terkemuka jahiliyah melakukan dengan merasa malu,sejak dari masih dimekkah rasulullah saw mengeraskan ajaranya kepada para pengikutnya supaya jangan berzina ,kepala dari orang-orang munafik yaitu Abdullah bin ubay bin salul,mempuyai mata pencariaan kotor,budak perempuan yang bernama Ma’azsah dipersewakannya kepada pedagang-pedagang yang lalu lintas atau kepada orang-orang madinah sendiri yang iseng.[2]
Menurut riwayat as sauddin si ma’azsah hakikatnya ingin hidup suci dan jijik dengan perbuatan nya sendiri yang dilakukan nya karena terpaksa itu telah mengadukan nasibnya kepada saiyidina Abu bakar dan memohon beliau sudi menolong melepaskannya dari pada hidup yang hina itu,itu sebab turun ayat an-nur 32
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
32. Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[1035] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.[3]
[1035] Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Di jelaskan dalam ayat 32 diatas hendaklah laki yang tidak beristri dan perempuan yang tidak bersuami,baik masih bujangan dan gadis ataupun telah duda dan janda hendaklah segera dicarikan jodohnya.maka jelaslah bahwa soal mngawinkan yang belum beristri atau bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan pribadi ari yang bersangkutan atau rusan “rumah tangga”tetapi menjadi urusan pula dari jamaah islamiah,tegasnya masyarakat islam
Apabila zina sudah termasuk dosa besar yang sangat aib padahal kehendak kelamin manusia adalah hal yang wajar yang termasuk keperluan hidup,maka kalau pintu zina ditutup rapat pintu kawin hendaklah dibuka lebar
Dalam ayat wa an kihuu,hendaklah dikawinkan oleh kamu hai orang banyak supaya ada yang bertanggug jawab memikul tugas yang diberikan tuhan itu.[4]
Untuk memelihara harta anak yatim dan bertemu pula keizinan dari tuhan untuk beristri lebih dari satu .
Asal mula turun ayat anisa’ 3-4
Karna menjawab pertanyaan urwah bin zubair,anak asma saudara aisyah urwah bin zubair ini sebagai anak kakak aisyah urwah bin zubair adalah murib aisyah maka ditanyalah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu sampai dengan empat dengan alasan memelihara anak harta anak yatim,pertanyaan urwah bin zubair itu dijawab oleh aisyah “wahai kemenakanku ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan walinya,yang tercampur harta anak itu engan harta walinya,maka bermaksublah dia hendak menikahi anak-anak asuhanya itu tetapi tidak hendak membayar masnikahnya secara adil,sebagaimana pembayaran masnikahnya dengan perempuan lain,oleh karena niat yang tidak jujur ini dilarang ia melangsungkan pernikahan dengan anak itu,kecuali ibayarkan masnikah itu secara adil dari pada berbuat sebagai niat yang tidak jujur,dia dianjurkan lebih baik menikah saja dengan perempuan lain walaupuan sampai empat kali.
An’nisa’3-4
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ (#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D ÇÍÈ
3. Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
4. Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan[267]. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
[265] berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para nabi sebelum nabi Muhammad s.a.w. ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
[267] pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, Karena pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas.
Sesudah Allah membayangkan hakikat tujuan yang jauh itu yaitu kesatuan umat manusia yang didasarkan atas takwa kepada Allah dan kasih saying kekeluargaan , maka dimulailah memperingatkan soal penting untuk mencapai itu yang selalu ada di hadapan mata yaitu soal anak yatim.
“Berikanlah kepada anak-anak itu harta mereka.” (pangkal ayat 2).
Untuk mencapai tujuan jauh, mulailah dari hal yang praktis sehari-hari. Pada zaman jahiliyah, jika seseorang meninggal dunia meninggalkan anak, maka keluarga yang lain tertuma saudara si mati, itu saja yang menguasai harta itu. Demikianpun perempuan, baik isteri si mati atau ibunya atau saudara perempuannya, tidak ada jaminan akan menddapat bagian dari harta peninggalannya. Maka ayat ini mulailah memberikan penjellasan bahwa anak yatim itu patut mendapat harta peninggalan ayahnya. Karena itu masih menjadi kewajiban bagi walinya memelihara harta anak itu sebaik-naiknya dan memberikan kepadanya secara jujur. “Janganlah kamu menukarkan sesuatu yang buruk kepada yang baik”. Misalkan saja ada harta warisan ayahnya yang kamu simpan, bagus mutu harta itu. Maka setelah menyerahkan hartanya itu kepadanya kamu tukar dengan hartamu sendiri yang serupa tapi mutunya kurang. “Dan jangan kamu makan harta mereka (dengan jalan mencampur-adukkannya) kepada harta-hartamu”. Dengan mencampur-adukkan harta mereka dengan hartamu itu hartanyalah yang terlebih dahulu habis, sebab kekuasaan ada dalam tanganmu. Sehingga kelak setelah memberikan harta mereka kepaa mereka, hanya hitungan saja lagi yang mereka terima, sebab sudah dihabis terebih dahulu olehmu yang mengasuhnya, sedang mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. “Sesungguhnya itu dosa yang besar”. (ujung ayat 2)
Menjadi dosa besarlah perbuatan itu. Baik menukar hartanya yang baik dengan hartamu yang buruk atau dengan mencampur-adukkan harta mereka dengan hartamu dengan maksud hendak menghabiskannya. Karena itu bukan namanya menolong dan memelihara tetapi menggolong dan membawa mara.
Menyerahkan harta mereka itu adalah dengan dua jalan. Sebelum mereka dewasa dan dapat mengendalikan harta mereka sendiri, yang diberikan adalah makan mereka, pakaian dan beanja-belanja mereka, misalnya belanja pendidikan mereka. Memberikan yang kedua adalah setelah mereka dewasa dapat beriri sendiri, dengan sendirinya hilanglah hak penjagaan wali atas dirinya. Maka seketika penyerahan itu janganlah membawa kecewa dalam hatinya.
“Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil (bila menikahi) anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat.” (pangkal ayat 3).
Dalam pangkal ayat ini kita bertemu lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula leizinan dari tuhan untuk beristri lebih dai satu, sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk soal, lebih baik kita terangkan tafsir dari Aisyah, istri Rasuullah sendiri, tentang asal mula dating ayat ini, karena menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah. Urwah bin Zubair ini sebagai anak kakak Aisyah sering bertanya kepada beliau tentang maasalah agama yang musykil. Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah. Maka ditanyakanlah bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu, sampai dengana empat dengan alasan memelihara harta anak yatim (riwayat Bukhari, Muslim, An-Nasai, a-baihaqi dan tafsir dai Ibnu Jarir)[5]
Maka pertanyaan Urwah bin Zubair itun dijawab oleh Aisyah: “Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak itu, maka bermaksudlaaha dia henddak menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan tidak hendak membayar mas kawinnya secara adil, sebagaimana pembayaran mas kawinnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, dilaranglah ia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika dibayarkan mas kawin itu secara adil dan dicapaikannya kepada mas kawin yang layak menurut patutnya (sebagaimana perempuan lain). Dan daripada berbuat sebagai niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat (hadits ini kita salin dengan bebas, suapaya tepat maknanya dan dapat dipahami).[6]
Penjelasan menurut M.Quraish Shihab
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk memelihara kesucian diri dan jiwa kaum mukmin baik pria maupun wanita,seta memelihara pnangan,kemaluan dan menutup aurat,mka kini pemilik budak dan para wli diperintah kan untuk mmbantu budak-budak mereka bahkan semua yang tidak memeliki pasangan hidup agar mereka juga memelihara diri dan kesucian mereka.ayat ini menyatakan.hai para wali para penanggung jawab bahkan selurh kaum muslimin;perhatikan lh siapa yang berada disekeliling kamu dan kawinkan lah yakni bantulaj agar dapat kawin orang;orang yang sendirian dianta kamu,agar mereeka dapat hidup tenang dan ter hinder dari perbuatan zina yang haram lainnya dan demikian juga orang;orang yang layak membina rumah tangga dari hamba sahaya kamu yang laki;laki dan hamba;sahaya yang perempuan.mereka juga manusia yang perlu menyalurkan kebutuhan seksualnya.Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat,karena jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya.dan Allah Maha luas pemberiannya lagi maha mengetahi segala sesuatu.
Kata al-ayama adalah bentuk jamak dari ayyim yang pada mulanya berarti permpuan yang idak memiliki pasangan.tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda,tetapi kemudian meluas sehingga masuk juga gadi-gadis,bahkan meluas sehingga mencakup juga pria yang hidup membujang,baik jejaka maupun duda.kata terseubut bersifaf umum,sehingga termasuk juga,bahkan lebih-lebih wanita tunasusila,apa lagi ayat ini bertujuan menciptakan lingkungan yang sehat dan religious,sehingga dengan mengawinkan para tunasusila,maka masyarakat secara umum dapat terhindar dari prostitusi serta dapat hidup dalam suasana bersih.
Kata shalihin dipahami oleh banyak ulama dalam arti yang layak kawin yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga,bukan dalam arti yang taat ber agma.ibnu ‘asyur memahami nya dalam arti kesalehan beragama lagi ber takwa.menurut nya ayat ini seakan-akan berkata;jangan sampai kesalehan dan ketaatan mereka ber agma meng halangi kamu untuk tidak membantu mereka kawin,dengan asumsi bahwa mereka dapat memelihara diri dari perzinaan dan dosa.Tidak!bahkan bantu dan kawin kan mereka!dengan demikian tulis ibnu ‘asyur yang tidak memiliki ketakwaan dank e salehan lebih perlu untuk diperhatikan dan di bantu.Peritah ini dapat merupakan perintah wajib jika mengabaikannya melahirka kemudharatan agama dan masyarakat,dan bila tidak mengabaikan hal tersebut maka ia dalam panadangan imam Malik adalah anjuran,atau mubah dalam pandangan imam safi’i.disisi lain ia mencakup semua anggota masyarakat,baik musli maupun non muslim,karena keberadaan non muslim pun yang sendirian dapat juga mengakibatkan lahahirnya prostitusi atau kedurhakaan ditengah masyarakat dan ini pada gilirannya dapat berdampak negative bagi pembinaan seluruh anggota masyarakat.
Kata wasi’terambil dari akar kata yang menggunakan huruf-huruf wauw, sin,dan ‘ain,yang maknanya berkiasr pada antonym kesempitan dan kesulita,dari sini lahir makna-makna seperti kaya mampu,luas, melipti,langkah panjang dan sebaginya.
Imam ghazali berpendapat bahwa kata ini sekali berkaitan dengan ilmu ilhi yang melipti segala sesuatu,dkli lain berkaitan dengan limpahan karunianya.Allan wasi’I dalam arti ilminya mencakup segala sesuatu dan rahmatnya pun demikain dengan ke aneka ragamannya.pendapat alghazali ini sesuai dengan fitman;firmannya yang menggunakan akar kata yang sama alam bentuk kata kerja,misalnya;Rahmat-ku wasi’at(meliputi) segala sesuatu (QS.al-A’raf {7}: 156),juga firmanya’Tuhan kami,rahmat dan ilmumu wasi’at/meliputi segala sesuatu (QS.Almu’min {40};7)
Dengan memperhatikan konteks ayat-ayat di atas kita dapat berkata bahwa Allah maha luas Ilmunya, sehingga mencakup segala sesuatu, maha luas kekuasaannya sehingga meliputi segala sesuatu, demikian juga rezeki, ganjaran, dan pengampunan-Nya, kesemuanya luas tidak bertepi,panjang tidak berakhir, bahkan petunjuk-petunjuk Nya pun beraneka ragam tanpa batas karena ini dinyatakan-Nya bahwa allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk[QS. Maryam [19];7].
Yang luas dalam ilmu, tidak akan keiru, tiak juga salah, bahkan akan member ilmu, melaluinpencarian atau tanpa usaha[wahyu]. Yang luas dalam kekuasaan, tidak akan berlaku aniaya. Tidak juga tergesa-gesa, bahkan akan member kekuasaan. Yang luas dalam rahmat tidak akan mengancam apalagi menyiksa tanpa sebab yang jelas, bahkan akan memaafakan, dan menganugrahkan berbagai anugrah. Yang luas dalam petunjuk, tidak akan meyesatkan, apalagi menjerumuskan tetapi membimbing dan lebih baik dari yang dikehendaki. Demikian Allah Yang Maha Luas itu.
Ayat ini member janji dan harapan untuk memperoleh tambahan rezeki bagi mereka yang akan kawin, namun belum memiliki modal yang memadai. Sementara ulama menjadikan ayat ini sebagai bukti tentang anjuran kawin walau belum memiliki kecukupan. Sementara mereka mengemukakan hadits-hadits Nabi saw yang mengandung anjuran atau perintah kawin. Misalnya: “Tiga yang pasti Allah bantu. Yang akan menikah guna memelihara kesucian dirinya, haba sahaya yang ingin memerdekakan diri dan memenuhi kewajibannya serta pejuang di jalan Allah” (HR Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah melalui Abu Hurairah). Tetapi perlu dicatat bahwa ayat ini bukannya ditujukan kepaa mereka yang bermaksud kawin, tetapi kepada para wali. Disisi lain ayat berikut memerintahkan kepada yang akan kawin tetapi belum memiliki kemampuan untuk menikah agar menahan diri.
Sesungguhnya pada kata shalihin pada ayat ini, demikian juga pada kata la yajiduna pada ayat berikut mengandung tuntutan tentang perlunya bagi calon suami istri memenuhi beberapa persyaratan selain persyaratan kemampuan material sebelum melangkah memikul tanggung jawab perkawinan. Ini karena perkawinan memiliki aneka fungsi, bukan sekedar fungsi biologis, seksual dan reproduksi, serta fungsi cinta kasih. Bukan juga sekedar fungsi ekonomi, yang menuntut suami mempersiapkan kebutuhan hidup anak dan istri, tetapi isamping fungsi-fungsi tersebut ada juga fungsi keagamaan dan fungsi social budaya yang menuntut ibu bapak agar menegakkan dan melestarikan kehidupan melalui perkawinan, niali-nilai agama dan budaya positif masyarakat dan diteruskan kepada anak cucu. Ini berlanjut dengan fungsi yang sangat penting yaitu fungsi pendidikan dimana keduanya harus memiliki kemampuan bukan saja mendidik anak-anaknya tetapi juga pasangan suami istri harus saling mengisi guna memperluas wawasan mereka. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah fungsi perlindungan yang menjadikan suami istri saling melindungi dan siap untuk melindungi keluarganya dari berbagai ancaman.[7]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Perkawinan dari buku Prof Dr Hamka sebagaimana dikutip oleh kelompok enam.pada zaman jahiliyah yaitu seorang budak perempuan dipaksa oleh tuannya melakukan perzinaan menjadi perempuan pelacur memunggut bayaran dari pada orang yang memakainya dan bayaran itu diserahkan (setor)kepada tuanya ,padahal perempuan itusendiri dapa asal jiwanya ialah mengingikan hidup yang suci dan sopan Cuma dipaksa mengerjakan itu karena dia tidak merdeka (budak).
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk memelihara kesucian diri dan jiwa kaum mukmin baik pria maupun wanita,seta memelihara pnangan,kemaluan dan menutup aurat,mka kini pemilik budak dan para wli diperintah kan untuk mmbantu budak-budak mereka bahkan semua yang tidak memeliki pasangan hidup agar mereka juga memelihara diri dan kesucian mereka.ayat ini menyatakan.hai para wali para penanggung jawab bahkan selurh kaum muslimin;perhatikan lh siapa yang berada disekeliling kamu dan kawinkan lah yakni bantulah agar dapat kawin orang;orang yang sendirian dianta kamu,agar mereeka dapat hidup tenang dan ter hinder dari perbuatan zina yang haram lainnya dan demikian juga orang;orang yang layak membina rumah tangga dari hamba sahaya kamu yang laki;laki dan hamba;sahaya yang perempuan.mereka juga manusia yang perlu menyalurkan kebutuhan seksualnya.Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat,karena jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunianya.dan Allah Maha luas pemberiannya lagi maha mengetahi segala sesuatu.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1982. Tafsir Al-Azhar Juzu’ XVIII. Jakarta: PT Pustaka Panjimas
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar