Jumat, 15 Juli 2011

Peran Guru Agama

Peran Guru Agama
Untuk Mencapai Tujuan Pendidikan Nasional
  1. Tugas Guru
Guru memegang peranan yang penting dalam proses belajar mengajar. Di pundaknya terpikul tanggung jawab utama keefektifan seluruh usaha kependidikan persekolahan.Di negara yang sudah maju pendidikannya dengan menggunakan media elektronik yang sangat canggih sebagai alat pengajar sudah dipergunakan dan kemampuannya untuk membawakan bahan pengajaran kepada pelajar sudah dibuktikan. Namun, keberadaan alat bantu tersebut tetap tidak dapat sepenuhnya menggantikan kedudukan guru. Dalam hal ini terdapat sesuatu yang hilang yang selama ini disumbangkan oleh guru dengan adanya interaksi antar manusia, antara guru dan pelajar. Kehilangan yang utama adalah segi keteladanan dan penanaman nilai - nilai yang dikristalisasikan dalam tujuan pengajaran.
Hal ini akan mendorong para guru bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab atas peranan yang di embannya. Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasonal ( UUSPN ) Pasal 27 ayat 3 dikemukakan bahwa guru adalah tenaga pendidik yang khusus diangkat dengan tugas utama mengajar. Di samping itu, ia mempunyai tugas lain yang bersifat pendukung, yaitu mernbimbing dan mengelola administrasi sekolah. Tiga tugas ini mewujudkan tiga layanan yang harus diberikan oleh guru kepada pelajar dan tiga peranan yang harus dijalankannya. Tiga layanan tersebut meliputi :
a.       Layanan instruksional
b.  Layanan bantuan ( bimbingan dan konseling ), serta
c. Layanan admnistrasi.
Sedangkan tiga peranan guru yang harus dijalankan ialah :
a. Sebagai pengajar
b. Sebagai pembimbing, dan
c. Sebagai administrator kelas.
Sebagai pengajar, guru mempunyai tugas menyelenggarakan proses belajar mengajar. Seorang guru dalam menjalankan profesi keguruannya, harus mampu melaksanakan beberapa hal yang meliputi empat pokok yaitu
a.       Menguasai bahan pengajaran
b.      Merencanakan program belajar mengajar,
c.       Melaksanakan, memimpin, dan mengelola proses belajar mengajar, serta
d.      Menilai kegiatan belajar mengajar.
Sebagai pembimbing, guru mempunyai tugas memberi bimbingan kepada pelajar dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, sebab proses belajar pelajar sangat berkaitan erat dengan berbagai masalah diluar kelas yang sifatnya non akademis.
Seorang guru juga harus mampu sebagai administrator yang mencakup ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya, seperti mampu mengelola sekolah, memanfaatkan prosedur dan mekanisme pengelolaan tersebut untuk melancarkan tugasnya, serta bertindak sesuai dengan etika jabatan.
Di samping memiliki tugas-tugas diatas, guru memiliki juga kewajiban yang berhubungan dengan keudukannya sebagai salah satu komponen tenaga kependidikan. Kewajiban tersebut dikemukakan di dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Pasal 31 sebagai berikut :
a.    Membina loyalitas pribadi dan peserta didik terhadap ideologi Negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b.   Menjunjung tinggi kebudayaan bangsa.
c.    Melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab dan pengabdian.
d.   Meningkatkan kemampuan prifesional sesuai dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan bangsa.
e.    Menjaga nama baik sesuai dengan kepercayaan yang diberikan masyarakat, bangsa dan negara.


B. Tanggung Jawab Guru
Bagi guru Pendidikan Agama Islam (PAI) tugas dan kewajiban sebagaimana menjadi pendidik merupakan amanat yang harus diterima oleh guru atas dasar pilihannya untuk memangku jabatan guru. Amanat tersebut wajib dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Allah menjelaskan dalam Al- Qur'an Surat An-Nisa' ayat 58,
Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanut kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. An-Nisa, 4: 58)
Tanggung jawab guru ialah keyakinannya bahwa segala tindakannya dalam melaksanakan tugas dan kewajiban didasarkan atas pertimbangan profesional (profesional judgement) secara tepat. Karena pekerjaan guru menuntut kesungguhan dalam berbagai hal. Oleh sebab itu posisi dan persyaratan para pekerja pendidikan atau orang-orang yang disebut pendidik karena pekerjannya ini, maka patutlah mendapat pertimbangan dan perhatian yang sungguh-sungguh pula. Dengan memperhatikan dan mempertimbangkan hal tersebut dimaksudkan agar usaha pendidikan yang baik tidak akan jatuh ke tangan orang-orang yang bukan ahlinya, sehingga dapat mengakibatkan banyak kerugian.
C. Profesi Keguruan
Kata profesi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan, kejuruan) tertentu. Di dalam profesi dituntut adanya keahlian dan etika khusus serta baku (standar) layanan. Pengertian profesi keguruan ini mengandung implikasi bahwa profesi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang secara khusus dipersiapkan untuk mendidik. Dengan kata lain, profesi keguruan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain.
Dari masa ke masa konseptualisasi profesi terus mengalami perkembangan. Di Amerika, pada awal abad 20, profesi ditekankan pada pelatihan dan kualifikasi. Pelatihan dibuktikan dengan adanya surat-surat tanda tamat kependidikan, sementara kualifikasi diterangkan dengan sejumlah karakteristik, termasuk ujian, pengalaman, dan reputasi yang berhubungan dengan keefektifan di dalam pekerjaan. Definisi ini memunculkan beberapa implikasi, antara lain lahirnya suatu masyarakat ekslusif dan terciptanya hubungan yang bersifat vertikal antara seorang profesional dan supervisor atau pihak-pihak lain yang merumuskan norma-norma profesi. Konsep tradisional ini berkembang dalam model administrasi "gaya mesin" yang digunakan untuk mempertahankan sistem politik gaya lama. Ketika reformasi bergulir dan semangat kebebasan berkembang, berbagai tuntutan profesi telah melahirkan definisi alternatif.
Definisi ini di satu pihak mengembangkan otonomi seorang profesional, dan di pihak lain menitiktekankan pada pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan pihak yang dilayani (klien). Menurut definisi ini, seorang profesional adalah orang yang terlibat secara luas dalam suatu posisi untuk mempengaruhi nasib kliennya. Dengan perkataan lain, seorang profesional menjalin hubungannya secara aktual ataupun potensial dengan kliennya dalam bentuk yang disebut hubungan hidup-mati (life-and-death reationship). Di camping itu, hubungan yang terjalin antara profesional dan klien bersifat horizontal dan ekuivalen. Dalam implikasinya, seorang profesional dituntut tidak hanya untuk memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang hukum-hukum dan aturan-aturan teknis yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaannya, tetapi juga tentang karakteristik dan kondisi kliennya. Seorang yang profesional dituntut memiliki pengetahuan tentang kepribadian, motivasi, dan aspirasi orang-orang yang dilayaninya.
Berdasarkan tuntutan perkembangan zaman, profesi dipandang sebagai suatu pekerjaan yang memiliki atribut (ciri-ciri atau indikator-indikator) tingkat tinggi. Sehingga profesi dapat dipandang sebagai bangunan ideal. Di dalamnya pekerjaan-pekerjaan individu-individu bervariasi sesuai dengan tingkat perkembangan perangkat atribut yang dibutuhkan.
Indikator-indikator profesi pada umumnya berkisar pada pokok-pokok sebagai berikut :
1.      keterampilan yang didasarkan atas pengetahuan teoritis;
2.      pendidikan dan latihan yang dibutuhkan;
3.      test kompetensi (melalui ujian dan sebagainya);
4.      vokasional (sumber penghidupan);
5.      organisasi (terlibat dalam asosiasi profesional);
6.      mengikuti aturan tingkah laku (code of conduct); dan
7.      pelayanan altruistis (mementingkan dan membantu orang lain)


Adapun indikator-indikator tersebut dijelaskan dengan aplikasinya pada profesi keguruan yaitu :
a. Kompetensi yang didasarkan atas wawasan teoritis
Suatu profesi sangat memerlukan kompetensi khusus, yaitu kemampuan dasar berupa keterampilan menjalankan rutinitas sesuai dengan petunjuk, aturan, dan prosedur teknis.
Guru memerlukan kompetensi khusus yang berkenaan dengan tugasnya. Hal itu karena pendidikan tidak terjadi secara alami, tetapi dengan di sengaja (disadari). Hubungan yang sederhana dan akal sehat (common sense) saja belum cukup untuk melaksanakan pengajaran yang baik.
Kompetensi guru tentu saja harus sinkron dengan bidang-bidang tugasnya, yaitu pengajaran, bimbingan dan administrasi. Secara metodologi pengajaran agama Islam, kompetensi guru meliputi pokok¬pokok sebagai berikut :
a.       Menguasai bahan pelajaran yang akan diajarkan kepada pelajar. Penguasaan di sini tidak dimaksudkan sekedar menguasai seluk¬beluknya bahan tersebut, tetapi juga meyakini bahwa apa yang diajarkan oleh guru itu memiliki kebenaran berdasarkan sumber¬sumber yang dipercaya.
b.      Memiliki kemampuan menyusun perencanaan program belajar mengajar, dengan mengetahui arti dan tujuan perencanaan, dan prosedur kegiatan belajar-mengajar.
c.       Memiliki kreatifitas untuk menciptakan dan menumbuhkan kegiatan pelajar, kemampuan mengubah perencanaan apabila diperlukan, dan kemampuan mengelola kelas.
d.      Memiliki kemampuan melakukan penilaian kemajuan belajar dengan memanfaatkan secara kreatif bentuk-bentuk penilaian yang ada.
Secara garis besar keempat kompetensi yang tertulis di atas, dapat disimpulkan menjadi dua kelompok kompetensi, yaitu penguasaan terhadap bahan pelajaran serta penguasaan terhadap teknik dan metode pengajaran.
Kompetensi khusus saja belum cukup untuk membuat suatu pekerjaan menjadi profesi. Di dalam profesi, keterampilan dan kecakapan perlu didasarkan atas wawasan teoritis. Karenanya, banyak pengrajin terampil yang memiliki keterampilan khusus dan luar biasa, tetapi tidak dapat disebut orang yang profesional. Wawasan teoritis diperlukan karena terampil rutin bersifat static dan kaku, tidak memberi laridasan bagi adanya pengembangan dalam kondisi baru dan pengecualian. Seorang mekanik terampil, umpamanya, apabila tidak mempunyai wawasan teoritis, maka pada mulanya tidak dapat memelihara mesin, tidak pula dapat menyiapkan buku petunjuk teknis, apalagi melakukan perbaikan ketika terjadi kerusakan.
Jadi, wawasan teoritis bukan semata-mata untuk kepuasan intelektual dengan memiliki pemahaman yang komprehensif, melainkan untuk melandasi berfungsinya rutinitas. Atas dasar itu, seorang guru belum dapat disebut profesional hanya dengan memiliki kompetensi khusus. Barangkali ada guru yang memiliki tricks of trade yang memungkinkannya untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan yang sangat efektif meskipun tidak memiliki wawasan teoritis tentang bagaimana dan mengapa ia berhasil. Guru semacam ini baru bisa disebut pengrajin ketimbang profesional. Guru yang melulu belajar untuk mengikuti aturan-aturan akan kewalahan manakala menghadapi suatu kasus yang belum ada aturannya atau aturan yang ada membuahkan hasil yang keliru. Wawasan teoritis akan membimbing guru dalam menghadapi kondisi luar biasa dan baru, membukakan jalan untuk melakukan eksperimen, serta memodifi- kasi prosedur lama dan menciptakan prosedur baru, sehingga mampu mengubah keadaan darurat menjadi sebuah kesempatan, bukan kegagalan.
Wawasan teoritis yang perlu dimiliki oleh guru mencakup pemahaman yang luas tentang pokok-pokok sebagai berikut :
a.       Hakikat kepribadian manusia,
b.      Teori belajar,
c.       Nilai-nilai pendidikan,
d.      Syarat-syarat komunikasi yang efektif,
e.       Pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan pelajar, serta
f.       Ide-ide dasar dan struktur teoritis mata pelajaran yang diasuhnya.

b. Sertifikasi
Setelah memiliki kompetensi yang didasarkan atas wawasan teoritis, seorang guru masih juga belum bisa langsung menjadi profesional. Profesi menuntut proses pengakuan kompetensi. Proses ini disebut dengan sertifikasi. Ada dua badan yang memiliki otoritas untuk memberikan sertifikasi bahwa seseorang inemiliki kompetensi untuk menjalani suatu profesi. Pertama, badan pemerintahan yang menjamin kepentingan umum bahwa orang yang direkrut benar-benar memiliki kompetensi. Dalam hal ini, pemerintah dapat meminta orang yang menekuni profesi untuk menjadi tenaga ahli dalam rekrutmen. Kedua, organisasi profesi itu sendiri. Organisasi ini tentunya akan berhati-hati dan bersikap selektif dalam melakukan rekrutmen. Kesalahan dalam hal ini tidak hanya akan merugikan kepentingan umum, tetapi juga para praktisi itu sendiri akan kehilangan prestise dan kepercayaan publik.
c. Organisasi profesi
Para profesional memerlukan organisasi profesi, sebab aspirasi mereka baik mengenai idealisme maupun kompetensi tugas, seringkali memerlukan perjuangan bersama. Aksi bersama seringkali lebih efektif untuk meningkatkan kekuatan para anggota ketimbang aksi perorangan. Serikat-serikat pekerja telah banyak berhasil menerapkan aksi semacam ini untuk menaikkan upah dan mengembangkan kondisi pekerjaan.
d. Kode etik
Orang yang profesional memiliki kemampuan dan kekuatan unik yang bisa raja digunakan untuk tujuan baik ataupun buruk. Oleh sebab itu, di dalam profesi harus ada kode etik yang dijunjung tinggi oleh para anggotanya. Dengan kata lain, kemampuan dan kekuatan itu membawa serta tanggung jawab moral khusus untuk mengarahkannya kepada tujuan yang baik. Kode etik didasarkan alas dua prinsip. Pertama, keamanan dan integritas profesi itu sendiri. Suatu profesi akan dihargai oleh masyarakat apabila anggota-anggotanya menjalankan pekerjaan sesuai dengan kompetensinya. Makin tinggi kompetensi itu, makin tinggi pula penghargaan masyarakat terhadapnya. Kedua, tentang paham tulus ikhlas dalam memberikan layanan. Menurut paham ini, seorang profesional menjalankan pekerjaannya tidak semata-mata untuk mengejar kepuasan finansial atau penghargaan profesi, tetapi juga didorong oleh cita-cita luhur untuk memberikan layanan secara tulus ikhlas. Prinsip kedua inilah yang dimaksud dengan pelayanan altruistis.
e. Vokasional
Alasan lain yang membuat suatu pekerjaan disebut profesi ialah karena pekerjaan itu merupakan sumber pokok mata pencaharian seseorang. Profesi bukan pekerjaan yang dilakukan oleh orang-orang yang karena tidak mendapat pekerjaan lain. Dengan indikator ini orang yang profesional dibedakan dari amatir. Pekerja amatir mungkin akan melakukan pekerjaannya untuk mencapi kepuasan batin dan rekreasi, tetapi orang yang profesional melakukannya untuk mencapai imbalan materi.
Meskipun demikian, seorang profesional tidak memandang pekerjaannya semata-mata sebagai tugas bayaran. Pekerjaan ini lebih merupakan suatu panggilan, yang membuatnya beridentifikasi dengan pekerjaan dan memenuhi sebagian besar tujuan hidupnya. Selain itu, seorang amatir bekerja hanya dalam waktu-waktu senggang, sementara profesional bekerja secara teratur dan terus-menerus. Demikian pula dalam menjalankan aktivitas di tengah-tengah masyarakat, orang yang profesional akan memandangnya sebagai suatu kewajiban dan tanggung jawab karena aktivitasnya terkait dengan profesinya, sementara seorang amatir tidak mempunyai pandangan seperti itu.
f. Kompetensi kepribadian
Indikator-indikator sebagaimana dikemukakan di atas lebih banyak menitikberatkan pada kompetensi instruksional.Jalannya kegiatan belajar¬ mengajar dan pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kompetensi tersebut.
Kepribadian guru ikut juga menentukan. Dalam pendidikan Islam, para ulama telah berusaha merumuskan kompetensi kepribadian guru. Mereka biasa menyebutnya sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru. Di bawah ini dikemukakan sifat-sifat yang telah dirumuskan oleh al-Kanani ( 733 H ), yang pendapatnya banyak memberi inspirasi kepada para ulama kontemporer seperti Muhammad Athiyyah al¬Abrasyi dan Abdurrahman al-Nahlawi.
Dalam bukunya yang berjudul TadzIcirah al-Sami wa al¬Mutakallim fi Adab al-Alim wa al-Muta'allim (Catatan Pendengar dan Pembicara tentang Kode Etik Guru dan Pelajar), al-Kanani mengemukakan persyaratan guru yang berkenaan dirinya, pelajaran, dan pelajaran.
Persyaratan guru yang berkenaan dengan dirinya yaitu :
1.   Hendaknya guru senantiasa insyaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa is memegang amanat ilmiah yang diberikan Allah kepadanya. Karenanya, is tidak menghianati amanat itu, malah is tunduk dan merendahkan diri kepada Allah.
2.   Hendaknya guru memelihara kemuliaan ilmu. Salah satu bentuk pemeliharaannya ialah tidak mengajarkannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya, yaitu orang-orang yang mencari ilmu untuk kepentingan dunia semata.
3.   Hendaknya guru berzuhud. Artinya, ia mengambil dari rizki dunia hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan pokok diri dan keluarganya secara sederhana. la hendaknya tidak tamak terhadap kesenangan dunia, sebab sebagai orang yang berilmu ia lebih tahu ketimbang orang awam bahwa kesenangan itu tidak abadi
4.   Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapai kedudukan, harta, prestise, atau kebanggaan atas orang lain.
5.   Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syarak. Hendaknya ia juga menjauhi situasi-situasi yang bisa mendatangkan fitnah dan tidak melakukan sesuatu yang dapat menjatuhkan harga dirinya di mata orang banyak.
6.   Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam, seperti melaksanakan shalat berjamaah di masjid, mengucapkan salam, serta menjalankan amar ma'ruf dan nahi mungkar. Dalam melakukan semua itu hendaknya ia bersabar dan tegar menghadapi berbagai celaan dan cobaan.
7.      Guru hendaknya rajin melakukan hal-hal yang disunatkan oleh agama, baik dengan lisan maupun perbuatan, seperti membaca al-Qur'an, berdzikir, dan shalat tengah malam.
8.      Guru hendaknya memelihara akhlak yang mulia dalam pergaulannya dengan orang banyak dan menghindarkan diri dari akhlak yang buruk.
9.      Guru hendaknya selalu mengisi waktu-waktu luangnya dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti beribadah, membaca, dan mengarang.
10.  Guru hendaknya rajin meneliti, menyusun, dan mengarang dengan memperhatikan keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan untuk itu.
11.  Guru hendaknya selalu belajar dan tidak merasa malu untuk menerima ilmu dari orang yang lebih rendah daripadanya, baik kedudukan, keturunan, ataupun usianya.

Syarat-syarat guru yang berhubungan dengan pelajaran, yaitu :
1.   Sebelum keluar dari rumah untuk mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadast dan kotoran serta mengenakan pakaian yang layak dengan maksud mengagungkan ilmu dan syariat.
2.   Ketika keluar dari rumah, hendaknya guru berdoa agar tidak menyesatkan atau disesatkan, dan terus berzikir kepada Allah hingga sampai ke majelis pengajaran.
3.   Hendaknya guru mengambil tempat pada posisi yang membuatnya dapat terlihat oleh semua murid.
4.   Sebelum mulai mengajar, guru hendaknya membaca sebagian dari al-Qur'an agar memperoleh berkah dalam mengajar, kemudian membaca basmalah.
5.   Guru hendaknya mengajarkan pelajaran sesuai dengan hirarki kemuliaan dan kepentingannya, yaitu tafsir al-Qur'an, kemudian hadis, pokok-pokok agama, ushul fikih, dan seterusnya.
6.   Guru hendaknya mengatur suaranya agar tidak terlalu keras hingga membisingkan ruangan, tidak pula terlalu rendah hingga tidak terdengar oleh pelajar
7.   Guru hendaknya menjaga ketertiban kelas dengan mengarahkan pembahasan pada objek tertentu.
8.   Guru hendaknya menegur pelajar yang tidak menjaga sopan-santun di dalam kelas, seperti menghina temannnya, tertawa keras, tidur, berbicara dengan teman ketika guru mengajar, atau tidak menerima kebenaran.
9.      Guru hendaknya bersikap bijak dalam melakukan pembahasan, menyampaikan pelajaran, dan menjawab pertanyaan. Apabila ia ditanya tentang sesuatu yang ia tidak diketahui, hendaknya ia mengatakan tidak tahu.
10.  Terhadap pelajaran baru guru hendaknya bersikap wajar dan menciptakan suasana yang membuatnya merasa telah menjadi bagian dari kesatuan teman-temannya.
11.  Guru hendaknya menutup setiap akhir kegiatan belajar-mengajar dengan kata-kata Wallahu Alam (Allah Maha Tahu) yang menunjukkan keikhlasan kepacia Allah.
12.  Guru hendaknya tidak mengasuh pelajaran yang tidak dikuasainya.

Syarat-syarat guru di tengah-tengah pengajaran :
1.      Guru hendaknya mengajar dengan niat: mengharapkan ridha Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syarak, menegakkan kebenaran, dan melenyapkan kebatilan serta memelihara kebaikan umat.
2.      Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar pelajar yang tidak mempunyai niat tulus dalam belajar. Sebagian ulama memang pernah berkata, "Kami pernah menuntut ilmu dengan tujuan bukan karena Allah, sehingga guru menolak kecuali jika kami menuntut ilmu karena Allah." Kata-kata itu hendaknya diartikan bahwa pada akhirnya niat menuntut ilmu itu hams karena Allah, sebab kalau niat tulus itu disyaratkan pada awal penerimaan pelajar, maka pelajar akan mengalami kesulitan.
3.      Guru hendaknya memotivasi pelajar untuk menuntut ilmu seluas mungkin.
4.      Guru hendaknya mencintai pelajarnya seperti mencintai dirinya sendiri.
5.      Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan Bahasa yang
mudah dan berusaha agar pelajarnya dapat memahami pelajaran.
6.      Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar¬mengajar yang dilakukannya.
7.      Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua pelajarnya.
8.      Guru hendaknya berusaha membantu memenuhi kemaslahatan pelajar, baik dengan kedudukan atau hartanya. Apabila pelajar sakit, ia hendaknya menjenguknya; dan apabila kehabisan bekal, ia hendaknya membantunya.
9.      Guru hendaknya terus memantau perkembangan pelajar, baik intelektual maupun akhlak. Pelajar yang saleh akan menjadi "tabungan" bagi guru, baik di dunia maupun di akherat.

Peran Guru agama:
1. Guru Sebagai Pendidik (educator)
Pengertian dengan istilah pendidik seperti yang dikemukakan Sutari Imam Barnadib adalah semua orang yang sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai kedewasaan. Oleh karena itu, maka tugas guru adalah berupaya memberikan beberapa rangsangan positif agar siswa dapat melakukan serangkaian aktivitas dalam rangka membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan terpendam yang berada didalam dirinya secara laten. Karena peran yang dimainkan guru selalu bergerak dalam kerangka pendidikan maka arah yang akan dituju oleh proses pengawalan ini adalah berorientasi pada kemajuan siswa.
Pengertian pendidik pada dasarnya tidak jauh berbeda dari pengajar, yakni sama-sama sebagai upaya seseorang dalam membangun potensi anak didik. Hanya jika mengajar lebih terbatas pada upaya transferisasi ilmu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain. Dalam pengertian pendidik, selain terdapat upaya pemindahan pengetahuan juga terdapat nuansa dan komitmen serta tanggung jawab moral untuk membangun komitmen moral anak didik. Oleh karena itu, maka dalam uraian berikut ini pemngertian guru sebagai pengajar tidak terlalu dipertimbangkan. Pertimbangannya, karena perbincangan mengenai pendidik serta implisit sebenarnya telah membicarakan guru sebagai pengajar-secara umum.
Dalam konteks pendidikan Islam, tampaknya terminologi tentang pendidik ini lebih hams mendominasi dari pada terminologi pengajar (teacher). Idealisme ini penting dikembangkan mengingat dalam beberapa kurun waktu terakhir ini paradigma pendidikan Islam sepertinya semakin kurang menunjukkan komitmennya terhadap pengembangan nuansa moral. Realitas ini diakui atau tidak sebagai konsekuensi logic dari gencarnya penetrasi konsep pendidikan barat yang dalam batasan tertentu memang terkesan bernuansa materialisme dan prag matisme. Dalam batasan itu, paradigma moral dan spiritual cenderung berada pada posisi yang kurang diperhatikan. Beberapa akibat lanjut dan kenyataan ini adalah semakin banyaknya output pendidikan Islam yang mengalami perpecahan jiwa, yakni di satu sisi mereka mulai akrab dengan akses informasi dan gaya hidup secara global yang langka terhadap nilai-nilai spiritual, sedangkan di sisi lain mereka masih memegang teguh dasar-dasar kelslaman secara normatif.
Yang membuat merosotnya dari fenomena pendidikan Islam ini adalah kurangnya sosialisasi konsep kefilsafatan pandidikan Islam yang berakar dari nilai-nilai Al-Qur'an. Padahal menurut Syeh Ali Ashraf, sebagian besar penyebab kegagalan pelaksanaan pandidikan Islam itu adalah dua hal. Pertama kuatnya penetrasi konsep pendidikan dengan orientasi kefilsafatan materialisme Barat. Dan kedua, karena kurangnya umat Islam mengembangkan sisi terjauh konsep kefilsafatan pendidikan Islam yang berakar dari nilai-nilai qur'ani.
Dengan demikian, semakin jelaslah urgenitas dari pengembangan konsep pendidik sebagai peranan yang harus dimainkan oleh seorang guru. Istilah pendidikan selalu mengacu pada komitmen penegakan nilai-nilai moral dalam din anak didik. Jika mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Danar Johan, sepertinya semakin mudah dipahami mengapa dimensi moralitas dan spiritualitas ini penting dikembangkan dalam din anak didik, di samping dimensi intelektualitas (IQ) .
Dalam konteks perkembangan masa depan agaknya anak didik yang memiliki kecerdasan emotional (emotional intellegence) dan kecerdasan spiritual (spiritual intellegence) akan semakin mampu untuk eksis dalam berbagai pergumulan peradaban sebagai pelengkap dan kecerdasan intelektual (intellectual intellegence). Selanjutnya, kaitannya dengan pendidikan dan peran pendidik adalah keseimbangan muatan yang diberikan oleh pendidik dalam meMbangun kekuatan emosi dan spiritual anak didik. Untuk itu, tentu saja guru tidak- cukup hanya dengan berperan sebagai pengajar, tetapi harus berperan sebagai pendidik (educator). Di sinilah relevansi konsep pendidikan dalam pandangan Islam jika dihadapkan dengan kecenderungan konsep kehidupan masa depan.

2. Guru sebagai Pendorong Perkembangan Siswa (Motivator)
Barangkali masih hangat dalam benak kita dan terasa masih akan relevan pandangan Paulo Freire mengenai konsep pendidikan pembebasannya. Freire sebagai praktisi pendidikan sangat mengecam praktik pendidikan yang dianggapnya menindas, yakni sebuah proses pengajaran yang selalu memposisikan anak didik sebagai sebagai objek yang selalu berada pada posisi yang dan guru sebagai pemenang otoritas keilmuan dan tidak boleh salah (teacher can do no wrong). Akibatnya dalam ruang kelas yang ada hanyalah instruksi yang laku, dan siswa dipaksa berada pada posisi yang tidak dapat diajak berdialog.
Sistem pendidikan gaya bank seperti yang digambarkan di atas, selalu menganggap siswa sebagai botol kosong yang siap diisi. Padahal secara psikologis setiap siswa telah membawa bakat dan minatnya masing¬masing, dan tugas guru adalah membangun potensi itu secara perlahan¬lahan dan mencerahkan, bukan memaksanya.
Dalam kaitan dengan pembahasan point ini, barangkali sangat tepat jika kita membicarakan peran guru sebagai motivator dan pendorong perkembangan dan kematangan kejiwaan dan intelektual anak didik. Sebagai pendorong kematangan psikologis anak didik, guru harus mampu mengidentifikasikan kemampuan dan potensi anak didik sehingga mereka dapat mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Dalam pengembangan ini guru seharusnya memberikan dan menciptakan suasana belajar yang kondusif agar anak didik senang dan gembira melakukan kegiatan belajar.
Sebagai motivator, guru diharapkan dapat memberikan kemungkinan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi mereka secara mandiri. Konsep ini sangat tepat dilakukan dalam rangka mengimbangi perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih. Dalam dunia modern siswa dipastikan semakin cepat mengakses informasi dan dunia luar sekolah, yang selanjutnya didiskusikan di ruang kelas. Realitas ini tentu semakin cepat mematangkan kedewasaan intelektual anak didik.
Posisi guru dalam kemajuan modern seperti itu tentu tidak lagi berpola seperti masa lalu yang menganggap hanya guru yang dapat mengakses informasi, sedangkan siswa selalu di posisi yang tidak tahu. Dalam batasan inilah maka pemahaman siswa merupakan mitra bagi guru dapat dimengerti. Guru dalam peranannya sebagai motivator harus mampu merangsang anak didik agar semakin banyak menyerap informasi dan berbagai sumber. Untuk itu tugas-tugas di luar sekolah sedapat mugkin diberikan dalam rangka pengembangan semangat otodidak mereka. Selain itu, penugasan ini dapat melatih semangat kemandirian mereka sebagai bekal untuk hidup di masyarakat. Gaya mendidik sebagai motivator ini agaknya perlu terus dikembangkan sebagai peranan penting yang hams dilakukan oleh guru di sekolah dalam rangka memberikan pendidikan yang mencerahkan dan membebaskan anak didik.
Dalam pada itu Gagne dan Briggs, seperti yang dikutip Muhammad Ali, juga memandang pentingnya proses belajar bagi siswa yang lebih menitikberatkan pada kerja mandiri. Dengan demikian, dalam proses balajar mengajar yang baik itu, bukannya tepletak pada upaya guru dalam menyampaikan pelajaran atau materi ajar, melainkan bagaimana guru mampu membangun minat siswa untuk belajar secara mandiri dalam mencapai tujuan belajar.

3. Guru sebagai Penata Proses Belajar Mengajar (Manager)
Secara administratif, tugas guru memang tidak lepas dari lingkungan sekolah yang secara formal dikelola dengan rapi melalui aturan-aturan administratif tertentu. Dalam hubungan ini, seorang guru yang baik adalah mereka yang mampu menata suasana secara apik sehingga menimbulkan suasana belajar yang sejuk dan tenang bagi anak didik.
Dalam peranannya sebagai pengelola kelas dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar guru hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar serta merupakan aspek-dari lingkungan sekolah yang perlu diorganisir. Lingkungan ini diatur dan diawasi agar kegiatan belajar terarah kepada tujuan-tujuan pendidikan. Pengawasan terhadap lingkungan belajar itu sangat menentukan sejauh mana lingkungan tersebut menjadi lingkungan belajar yang baik. Lingkungan belajar yang baik adalah yang bersifat menantang dan merangsang siswa untuk belajar, memberikan rasa aman dan kepuasan dalam mencapai tujuan.
Menurut Mohammad Uzer Usman, kualitas dan kuantitas belajar siswa di dalam kelas bergantung pada banyak faktor antara lain adalah guru, hubungan pribadi antara siswa di dalam kelas, serta kondisi umum dan suasana di dalam kelas. Tujuan umum pengelolaan kelas ialah menyediakan dan menggunakan fasilitas kelas untuk bermacam-macam kegiatan belajar mengajar agar mencapai hasil yang baik. Tujuan khususnya adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil belajar yang baik.
Sebagai manajer, guru bertanggung jawab memelihara lingkungan fisik kelasnya agar senantiasa menyenangkan untuk belajar dan mengarahkan atau membimbing proses-proses intelektual dan sosial di dalam lingkungan kelasnya. Dengan demikian, guru tidak hanya memungkinkan siswa belajar, tetapi juga mengembangkan kebiasaan dan bekerja secara efektif di kalangan siswa.
Tanggung jawab yang lain sebagai manajer yang penting bagi guru adalah membimbing pengalaman-pengalaman siswa sehari-hari ke arah self directe behavior. Salah satu manajemen kelas yang baik adalah menyediakan kesempatan bagi siswa untuk sedikit demi sedikit mengurangi ketergantungannya pada guru sehingga mereka mampu membimbing kegiatannya sendiri. Siswa hams belajar melakukan self control dan self activity melalui proses bertahap.
Sebagai manajer guru seharusnya mampu memimpin kegiatan belajar yang efektif serta efisien dengan optimal. Sebagai manajer lingkungan belajar di kelas, guru idealnya dapat mempergunakan pengetahuan tentang teori belajar mengajar dan teori perkembangan sehingga kemungkinan untuk menciptakan situasi belajar mengajar yang menimbulkan kegiatan belajar pada siswa akan mudah dilaksanakan dan sekaligus memudahkan pencapaian tujuan yang diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar